Mantan
Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia berdasarkan
temuan Transparency International 2004 dengan total perkiraan korupsi sebesar
15-25 miliar dolar AS.
Karena itu, Koalisi Mayarakat Sipil
Melawan Lupa menyatakan menolak calon presiden (capres) yang mendukung
pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto. Salah satu kasus
korupsi besar yang dilakukan Soeharto yakni penggunaan Dana Reboisasi
Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden.
Dana tersebut digunakan untuk
membiayai tujuh yayasan milik Soeharto, yakni Yayasan Dana Sejahtera Mandiri,
Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya
Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Dalam Pasal 4 Ketetapan MPR No XI
Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
menyebutkan secara jelas “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme harus
dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan
pejabat negara, keluarga, dan kroninya. maupun pihak swasta/konglomerat
termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga
tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No
2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum
mengganti kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp 139.229.178 atau
sekitar Rp 3,07 triliun. Namun, hingga kini putusan tersebut belum dieksekusi
lantaran aset Yayasan Supersemar tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi.
Aktivis Indonesian Legal Roundtabel
(ILR) Erwin Natosmal Oemar, mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan PBB, pada
abad ke-20 Soeharto adalah diktator paling korup sedunia. Dia menyayangkan
capres Prabowo Subianto yang mewacanakan pemberian gelar pahlawan kepada
Soeharto tanpa melihat kesalahan apa saja yang dibuat.
“Konsen kita ingin mengingatkan publik
jangan sampai terjebak, saking gembiranya demokrasi kita lupa fakta-fakta
sejarah di masa lalu,” kata Erwin dalam konferensi pers di kantor Indonesian
Corruption Watch (ICW), Kamis (3/7).
Menurut Erwin, genelogi korupsi
Soeharto diawali pada 1976 dengan mengeluarkan peraturan pemerintah No 15 Tahun
1976 tentang penetapan penggunaan sisa laba bersih bank-bank milik pemerintah.
Setiap tahun sebesar lima persen keuntungan bank harus disumbangkan ke
yayasannya. Bahkan realisasinya 50 persen dari keuntungan sisa laba bersih bank
dikirim dan disalurkan ke yayayan tertentu.
“Suharto terbukti secara
hukum melakukan tindak korupsi, itu baru satu yayasan. Jika ada capres yang
ingin pemberantasan korupsi tapi ingin memberikan Soeharto gelar pahlawan itu
tindakan kontradiktif. Ini adalah penipuan publik, manipulasi sejarah yang
harus diingatkan kepada publik,” kata Erwin.
Posting Komentar